Ledakan bom bunuh diri yang dikerjakan dua pelaku di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) segera direspons oleh Presiden Joko Widodo dengan memerintahkan Menko Polhukam Wiranto menyelesaikan revisi UU 15/2013 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Apa sajakah kekurangan dalam UU Terorisme itu yang bikin aparat dituding senantiasa kecolongan tiap-tiap tindakan bom berlangsung.
Selesai meninjau tempat ledakan pada Rabu malam lantas, Presiden Jokowi menyampaikan, tindakan terorisme jadi permasalahan semuanya negara. ” Regulasi yang mempermudah aparat lakukan mencegah. Kita menginginkan pemerintah serta DPR selekasnya merampungkan UU antiterorisme. Hingga bakal mempermudah aparat penegak hukum supaya mempunyai landasan kuat dalam melakukan tindakan serta lebih dapat lakukan usaha mencegah sebelumnya peristiwa berlangsung. Itu paling utama, ” tutur Presiden Jokowi.
Jokowi mengakui telah memberikan instruksi jajarannya untuk berbarengan dengan legislatif merampungkan regulasi ini. Menurut dia, UU ini mesti jadi prioritas untuk dikerjakan. ” Karna ini permasalahan menekan. Kita saksikan peristiwa tempo hari, hingga tadi saya perintahkan untuk Menko Polhukam selekasnya merampungkan UU antiterorisme supaya aparat hukum miliki landasan kuat melakukan tindakan. Intinya menghindar, ” tegasnya.
Perintah itu segera direspons Wiranto dengan menyatukan Kepala Tubuh Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius, Kepala BIN Budi Gunawan, Wakapolri Komjen Syafruddin serta petinggi keamanan yang lain. Selesai pertemuan yang berjalan Jumat (26/5), Wiranto mengungkap payung hukum yang ada sekarang ini bikin aparat tidak leluasa menghindar tindakan teror di tanah air. Dia mengibaratkan tangan aparat seperti ‘terborgol’ akibat UU Terorisme yang belum mencukupi.
” Mustahil aparat keamanan mesti bertugas dengan arti tangan terborgol tidak ada satu senjata UU yang ideal, sebab bila seperti ini pastinya aparat keamanan mustahil lakukan langkah preventif yang tegas untuk menanggulangi terorisme, ” kata Wiranto.
” Terorisme itu tidak nunggu UU usai. UU ini mesti cepat dikerjakan untuk menanggulangi mereka. Kita juga melawan dengan beberapa cara yang cukup keras, cukup tegas namun dalam koridor hukum yang kita setujui berbarengan, ” paparnya.
Menurut Wiranto, negara-negara lain sudah memberlakukan undang-undang yang begitu keras serta tegas pada terduga pelaku terorisme. Wiranto meyakinkan Indonesia bakal juga tegas jika UU Terorisme sudah direvisi.
Satu diantaranya, orang-orang yang di ketahui lakukan ujaran-ujaran menghadap pada radikalisme serta tercium lakukan latihan-latihan yang dikira persiapan lakukan teror bakal segera di tangkap oleh aparat. Mereka yang menaruh atribut-atribut berbau radikalisme bakal juga di tangkap.
” Bila telah ada tanda-tanda pemakaian atribut yang bebrapa riil menjurus pada radikalisme, ujaran kebencian yang menjurus pada radikalisme, ajakan, latihan yang menjurus kesana mesti ada di tangkap. Diatasi dahulu, undang-undang saat ini belum menghadap kesana, ” tuturnya.
Dia juga mengaku senantiasa nampak asumsi aparat senantiasa kecolongan hingga pelaku terorisme bisa memperlancar aksinya yang menelan korban jiwa. ” Oleh karenanya kami bakal berjuang dengan rekan-rekan DPR dengan selekasnya mengegolkan UU terorisme dengan jumlah yang ideal, ” tuturnya.
Apa kekurangan paling utama dalam UU Terorisme yang ada sekarang ini? Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menerangkan, tak ada poin mencegah dan tak ada rehabilitasi teroris selesai melakukan hukuman.
” Diluar itu, undang-undang itu juga tak mengakomodasi masalah amaliyah serta ISIS, walau sebenarnya banyak warga Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk memperdalam kekuatan memegang senjata serta berjihad, ” tuturnya di Jakarta sekian waktu lalu.
Hal utama yang lain, lanjut Tito, UU Terorisme membutuhkan ketentuan masalah perlindungan hak asasi manusia karna kewenangan yang sangat besar kelak bakal menyimpang. Tito memohon pihak-pihak berkaitan memerhatikan poin-poin itu serta bisa memperhitungkan untuk memasukkan beberapa hal yang cukup utama itu dalam revisi UU terorisme.
” Undang-Undang No. 15 th. 2003 dulu di buat sesudah Perpu No. 1 th. 2002, dimana pembentukan UU itu karna ada tekanan dalam serta luar negeri pascatragedi bom Bali 2002, ” tuturnya.
Anggota Pansus RUU Terorisme Arsul Sani menyampaikan, kajian materi revisi sesungguhnya jalan lancar di DPR. Tetapi ada poin yang cukup alot dibicarakan serta belum temukan titik temu yaitu pengertian tindak pidana terorisme. Ketidaksamaan pandangan masalah pengertian ini bukan sekedar berlangsung di level fraksi namun juga pemerintah. ” Pasti ada juga satu-dua gosip yang belum terumuskan dengan baik seperti pengertian terorisme, ” ungkap Arsul.
Sedang Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengingatkan Pansus supaya waspada membahas beberapa gosip krusial dalam revisi UU Terorisme. Dia mengharapkan RUU Terorisme tak jadikan alat untuk asal-asalan menangkap orang dengan dalih mencegah terorisme.
” Kita mengharapkan UU ini namun janganlah lalu dikira kalau karenanya ada UU ini lalu tak ada terorisme. Kita juga di segi lain tidak ingin UU ini digunakan sebagai alat politik alat kekuasaan untuk menangkapi orang seenaknya, ” kata Fadli di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (26/5).
” Mesti ada tetaplah satu pengawasan pada aksi itu karna begitu riskan terlebih bila menghadap pada ISA (internal security act). Tujuannya praktek ISA bukanlah ISA-nya, praktek seperti ISA itu kan di negara tetangga itu digunakan untuk kebutuhan politik dengan argumen menghindar terorisme kelak dan sebagainya, ” tegasnya.
Lepas dari itu Fadli sepakat jika kajian revisi UU Terorisme mesti selekasnya dirampungkan. Dia mengharapkan Pansus selekasnya merampungkan kajian di saat sidang saat ini atau saat sidang selanjutnya.
” Namun memanglah mesti dikerjakan mesti ada deadline, saya sangka th. ini harusnya semoga kurun waktu yang dekat apakah saat sidang ini atau saat sidang mendatang, harusnya si dapat mengerucut RUU Terorisme ini, ” pungkas dia.