Instansi kepolisian maupun personel kepolisian menjadi target utama para teroris untuk melancarkan aksi teror di seluruh dunia tanpa terkecuali di Indonesia. Untuk mengatasi teror tersebut, maka pihak kepolisian telah melakukan berbagai antisipasi.
“Untuk sistem pengamanan yang ada di kepolisian negara Indonesia sebetulnya polisi telah sangat sadar sejak dahulu banyak sekali para teroris itu melakukan penyasaran polisi secara instansi atau secara perorangan sebagai target, karena tugas, kewenangan dan tanggungjawabnya tersebut,” kata Kombes Sulistyo Pudjo Hartono selaku Analis Kebijakan Madya Bidang Penmas Divhumas Polri, di kantor Humas Mabes Polri, Jakarta, Rabu (28/6).
Untuk mengatasinya, polisi telah melakukan berbagai langkah pencegahan. Tiap personel yang bertugas pun kini mendapat penjagaan.
“Jadi karena kesadaran tersebut sebenarnya polisi berusaha melakukan upaya-upaya pre-emtif, preventif dan represif aktif. mengapa saya sampaikan seperti itu? karena kalau kita melakukan upaya preventif saja kita seperti melakukan tindakan-tindakan defensif,” jelasnya.
“Jadi upaya-upaya tersebut untuk pengamanan itu lebih banyak berada pada tataran pre-emtif aktif dalam arti memaksimalkan semua potensi kepolisian sumber daya masyarakat, sumber daya organisasi lain, stakeholder lain untuk menekan tumbuhnya para pelaku dari yang moderat menjadi radikal, jadi yang radikal menjadi teroris, itu yang kemudian preventif,” lanjut dia.
Menurut mantan Kabid Humas Polda Jabar ini, polisi juga sejak dulu telah melakukan pengamanan di Mako-mako polri yang tersebar di Indonesia dengan istilah jaga monyet. “Itu artinya bahwa polisi mengamankan dengan senjata di depan Mako dan markas polri, anggota polisi ditaruh di sini (depan Mako) dan bersenjata dan ada pelurunya itu,” imbuhnya.
Namun pengamanan dengan cara jaga monyet tidak lagi diterapkan. Alasannya karena jaga monyet dinilai oleh masyarakat bahwa polisi merupakan sebuah organisasi militer. Sehingga jaga monyet diganti dengan cara lain.
“Hanya memang karena adanya perkembangan HAM, sipil dan lain-lain, reformasi, itu seakan-akan polisi seperti militer sehingga masyarakat tidak menghendaki adanya jaga monyet dan meminta polisi lebih humanis tetapi kemudian kita membuat yang namanya barikade maupun pagar masuk ke Mako Polri, satuan polri itu dengan pagar terbuka kemudian bisa ditutup tiap hari,” terangnya.
Tindakan represif juga sangat diperlukan untuk menekan aksi teror yang dilakukan oleh para pelaku teror dan yang telah mengikuti paham terorisme. “Ini kita tekan dan tangkap terus agar jangan sampai mereka melakukan kegiatan teror di Indonesia dan dengan semua resikonya, all cost. semua resiko kita siap,” tambahnya.
Selain tindakan pre-emtif, preventif, represif aktif, maka langkah pengamanan dengan body sistem juga dilakukan oleh kepolisian untuk mencegah aksi teror yang menyasar personel kepolisian tersebut.
“Kemudian untuk pengamanan personel, kami memerintahkan semua anggota polisi untuk body sistem, satu dikawani oleh satu, walaupun tugas polisi itu untuk reserse itu memang perorangan,” kata mantan Kabid Humas Polda Papua tersebut.
Hal senada terkait pengamanan body sistem juga pernah disampaikan oleh, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto pada apel gabungan terpusat operasi ramadnya 2017 lalu.
“Body sistem itu minimal berdua, Jadi bertugas minimal berdua saling mengamankan,” kata Setyo di silang Monas pada Senin (19/6) lalu.