News

Serangan Balik, Wakil Ketua DPR Inginkan Ketua KPK Mengundurkan Diri

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah melakukan serangan balik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia mengusulkan hak angket (hak penyelidikan) terhadap kasus KTP elektronik atau e-KTP dan mendesak Ketua KPK Agus Rahardjo mundur dari jabatannya.

Fahri menyebut dalam pengusutan kasus e-KTP yang melibatkan para tokoh politik dan mantan pejabat itu, Agus Rahardjo mengalami konflik kepentingan karena pernah menjadi Kepala Lembaga Pengkajian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Sebagai kepala lembaga itu Agus Rahardjo pernah terlibat dalam konflik proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri.

Menurut Fahri Hamzah, Agus Rahardjo saat menjabat Kepala LKPP, pernah mengancam pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Ancamannya, kalau bukan itu (konsorsium tertentu) yang memang (Menang tender proyek e-KTP) akan gagal. Agus yang ngomong begitu,” ujar Fahri di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/3).

Menurut Fahri, Agus membawa sebuah konsorsium mengikuti proses lelang pengadaan e-KTP. Ia bahkan menyebut Agus sempat melobi Kemendagri agar konsorsium yang dibawanya lolos proses lelang.

“Ini konfliknya terlalu kentara karena sebagai Kepala LKPP, Pak Agus itu melobi untuk satu konsorsium (tertentu),” tutur Fahri. Mantan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku mendengar kabar tersebut dari mantan pejabat di Kemendagri.

Fahri juga menilai Agus Rahardjo sudah selayaknya mundur dari jabatannya sebagai Ketua KPK lantaran dianggap memiliki konflik kepentingan.

“Buktinya dakwaannya kayak begini. Keterangan orang dipotong-potong, yang merugikan dia tidak disebut. Mengapa nggak disebut di kronologi bahwa dia ikut melobi. Ya kan harusnya dia ngomong terbuka dong ikut melobi,” tutur Fahri.

Fahri Hamzah mengaku sudah ada alasan mengusulkan hak angket korupsi e-KTP di sela pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Setelah diceritakan, Fahri menduga Presiden Joko Widodo akan menyikapi hak angket tersebut secara positif.

“Ya beliau kan Presiden, semakin terang makin positif saja melihatnya. Jadi tidak ada masalah. Toh ini kasus di pemerintahan periode lalu, bukan beliau. Artinya Pak Jokowi bersih tangannya,” katanya.

Fahri berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendukung hak angket tersebut. Ia menunggu respon dari Presiden Jokowi terkait usulan itu. “Saya bilang ini bukan kasus di pemerintah sekarang jadi saya harap Presiden mendukung. Ya kita tunggu saja respon Presiden,” tutur Fahri.

Tak banyak tahu

Mengenai Agus Rahardjo, menurut Fahri, sebaiknya tidak boleh terlibat dalam penanganan kasus e-KTP. “Dia tidak boleh terlibat dalam kasus ini. Ini mirip kritik saya dulu terhadap kasus Century ketika BW (Bambang Wijodjanto) punya conflict interest karena dia menjadi pengacara LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),” ucap Fahri.

Fahri mengungkapkan Presiden Jokowi kaget ketika mendengar ceritanya mengenai Agus Rahardjo. “Jadi dia kaget juga dengar keterangan yang disampaikan itu. Saya bilang kasus ini sebetulnya sudah diaudit tiga kali oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan tidak ada masalah,” ujar Fahri.

Proyek e-KTP dimenangkan oleh konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), senilai Rp 5,8 triliun. Menurut surat dakwaan jaksa penuntut umum KPK, konsorsium PNRI di-back up oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Setya Novanto, yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.

Fahri menilai Presiden Joko Widodo tidak banyak mengetahui hal-hal di balik kasus itu. “Banyak yang Presiden itu belum tahu, belum mendapatkan laporan rupanya. Tiba-tiba sekarang kok meledak, dia kaget juga. Ya gitu-gitu lah,” ucap Fahri.

Fahri mengaku mendapat respon positif dari anggota DPR terkait usulannya melakukan hak angket. Apalagi, menurut surat dakwaan, banyak anggota DPR yang terseret kasus itu.

Jaksa KPK baru mengajukan dua orang terdawka yaitu Irman, mantan Direktur Jenderal Dukcapil, dan Sugiharto, mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Menurut jaksa, kerugian negara akibat kasus korupsi itu mencapai Rp 2,3 triliun.

To Top