Bisnis

Perjalanan Utang Pemerintah Indonesia dari Masa ke Masa

Ketergantungan Indonesia terhadap utang masih belum lepas. Untuk menyiasati belanja negara, pemerintah masih menggantungkan pembiayaannya melalui skema penambahan utang untuk menyelesaikan proyek pembangunan.

Kondisi mutakhir, pemerintah sedang berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp467,3 triliun. Jumlah yang direncanakan itu melampaui target yang disepakati di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang mematok angka Rp400 triliun saja.

Pemerintah sedang membutuhkan dana yang tak sedikit. Sejumlah proyek infrastruktur yang dicanangkan pemerintah membuat pemerintah tidak bisa terbebas dari jalan berutang. Langkah penerbitan SBN itu diambil karena alasan pemerintah tidak mau memangkas anggaran terlalu besar karena akan berdampak pada proyek-proyek berkaitan dengan masyarakat.

“Kita tidak ingin memangkasnya,” kata Menteri Koordinatir Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Jumat (7/7/2017). Darmin mendorong SBN yang akan diterbikan nanti akan diarahkan kepada sektor produkti yang akan membantu pertumbuhan ekonomi.

Utang pemerintah Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2016 saja, oustanding utang negara mencapai Rp3.466,9 triliun ekuivalen dengan US$258,04 miliar dengan rasio utang 27,5 persen dari PDB.

Jumlah utang itu memang melonjak semasa Presiden Joko Widodo. Karena pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat meninggalkan kursi presiden 2014 lalu, utang negara berjumlah Rp2.608,8 triliun ekuivalen dengan US$209,7 miliar dengan rasion utang 24,7 persen.

Sejak krisis ekonomi menghempas perekonomian Indonesia pada krisis monterr tahun 1998 lalu, Indonesia belum bisa bangkit dari jeratan utang. Saat presiden kedua Soeharto turun tahta pada 1998, kondisi utang negara terbilang cukup banyak yakni Rp 551,4 triliun rupiah ekuivalen dengan 68,7 dolar Amerika dimana rasio utang saat itu dinilai sangat tinggi yaitu 57,7 persen terhadap PDB.

Selanjutnya, setelah tampuk kekuasaan digantikan oleh B.J Habibie total utang kembali meningkat oustanding senilai Rp938,8  triliun atau setaran dengan atau setara dengan US$132,2 miliar. Sementara pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, utang negara mencapai Rp1.232,8 triliun ekuivalen dengan US$ 129,3 miliar. Ironisnya, rasio utang itu mencapai 88,7 persen.

Menghindar dari Utang

Untuk mewujudkan mimpinya, pemerintah tidak bisa mengelak untuk menggali lobang utang untuk membiayai sejumlah proyek ambisius. Kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan jalan penerimaan negara melalui utang diprediksi akan berdampak jangka panjang.

Itulah alasan kenapa sebagian kalangan menentang upaya pemerintah yang membuat beban utang negara semakin membengkak. Peningkatan utang negara semasa pemerintah Presiden Joko Widodo dianggap akan memberi dampak yang serius terhadap keberlangsungan ekonomi masyarakat.

Meskipun pada sisi lain, keinginan pemerintah untuk membangun proyek infrastruktur patut diapresiasi. Hanya saja, proyek tersebut mesti ditebus dengan biaya yang sangat mahal sehingga akan memberi dampak pada ekonomi masyarakat.

“Dampak terburuk dari beban utang semakin tinggi bisa dirasakan secara nasional bahkan berkelanjutan dan secarapasti beban pemerintah Jokowi akan ditanggung rakyat sebagai warisan,”  ujar koordinator investigasi Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman.

Untuk menuntaskan proyek ambisiusnya, pemerintah bahkan tidak mengelak dari skema pinjaman utang untuk membiayai proyek infrastruktur. Maka, melakukan pinjaman utang dianggap sebagai kegagalan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan pada sektor lain seperti pajak. Akibatnya, tidak ada jalan lain selain mengambil langkah utang melaluipenerbitan SBN.

“Kalau SBN tidak diterbitkan bisa kolaps kementerian dan lambaga negara makanya pemerintah ngotot menerbitkan SBN. Karena hanya ini sumber penerimaan negara yang bisa tersedia,” imbuh Jajang.

Sementara itu, untuk mengantisipasi melebarnya angka defisit, pemerintah sudah tidak punya solusi lain. Kerja politik untuk mencari donor dari negara-negara lain pun tidak bisa dilakukan lantaran terkendala waktu. Jajang menyebut pemerintah Jokowi tidak mau berpikir jauh untuk mengatasi kekurangan anggaran untuk merealisasikan proyeknya. Pemerintah hanya ingin mencari cara-cara yang mudah seperti memperbesar jumlah utang melalui penerbitan surat berharga negara.

“Kalau mencari donor dari negara lain tidak mungkin karena waktunya sangat terbatas. Sedangkan melalui tax amnesty juga tidak bisa menutupi defisit anggaran,” tutup Jajang.

To Top