News

Pemindahan Ibukota, Dari Soekarno Sampai Jokowi Hanya Wacana Saja

Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta bukan hal baru. Wacana ini sudah digaungkan sejak Presiden Republik Indonesia Pertama Soekarno menjabat. Sampai di era Presiden RI Ketujuh Joko Widodo, ini tetap saja menjadi sebuah wacana.

Belum ada keberanian dan kesungguhan politik untuk merealisasikannya. “Soal wacana pemindahan ibu kota adalah sebuah wacana yang sudah lama tinggal keberanian politiknya saja yang belum. Kalau kami lihat dari Soekarno sampai era Jokowi itu selalu terjadi, baru wacana saja,” kata anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi dalam sebuah diskusi di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (13/4).

Baidowi menambahkan, memang tengah banyak tempat yang disebutkan untuk menjadi ibu kota negara jika dipindah dari Jakarta. Di antaranya adalah Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng). “Tetapi, itu hanya wacana,” tegasnya.

Dia menambahkan, memindahkan ibu kota tidak sesederhana yang dibayangkan. Perlu kalkulasi politk. Perlu juga anggaran. “Kita tahu semua memang ibu kota di Jakarta sudah penuh sesak. Bahasanya bisa dibilang crowded atau semrawut,” ujar Baidowi.

Anggota Komisi V DPR Nizar Zahro mengatakan, pemindahan ibu kota NKRI dari Jakarta ke tempat lain itu tidak logis. Dia menegaskan, pemindahan itu tidak mungkin terealisasi mengingat sampai saat ini tidak ada langkah nyata dari pemerintah. Undang-undang nomor 29 tahun 2007 tentang tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Sebagai Ibu Kota NKRI saja belum diubah.

“Tahapan-tahapan yang disampaikan oleh pemerintah sampai hari ini belum ada sama sekali kemajuannya, hanya berupa kajian saja,” kata Nizar dalam kesempatan itu.

Bahkan, lebih parah lagi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam kajiannya menyatakan bahwa jika ibu kota dipindahkan maka membangunnya bukan dari uang atau anggaran negara. Melainkan menggunakan privat sector atau swasta. “Itu tambah tidak mungkin lagi,” katanya.

Dia menambahkan, yang namanya swasta itu, tentu mengeluarkan uang ingin mendapatkan margin atau keuntungan. “Kalau tidak ada keuntungan, tidak mungkin mereka mau membangun,” ujar politikus Partai Gerakan Indonesia Raya itu.

Karenanya Nizar menambahkan, wacana yang demikian ini sangat-sangat tidak masuk akal. Kecuali, ada keseriusan penuh dari pemerintah. Misalnya mengajukan revisi UU 29/2007, memikirkan kebijakan, anggarannya, dan diolah untuk menjadi keputusan terbaik serta menguntungkan masyarakat.

“Kemudian olah mana yang paling bagus apakah di Palangka Raya, Jonggol atau di Karawang, Madura atau di Nusa Tenggara Timur, silakan karena itu adalah kebijakan yang memang domainnya pemerintah,” katanya.

To Top