News

PAN Tidak Konsisten, Partai Pendukung Pemerintah Mulai Geram

Ketua DPR RI Setya Novanto mengambil alih sidang paripurna DPR yang berlangsung hingga Jumat (21/7/2017) dini hari kemarin.

Novanto mengetuk palu, disetujuinya RUU Pemilu yang sudah dibahas antara pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR sejak beberapa bulan lalu.

DPR menyepakati opsi A yang terdiri dari sistem pemilu terbuka presidential threshold 20-25 persen, ambang batas parlemen 4 persen, metode konversi suara sainte lague murni, dan kursi dapil 3-10.

Paket tersebut didukung enam fraksi pendukung pemerintah, yakni PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura. Sementara empat fraksi lain, Demokrat, PKS, Gerindra dan PAN walk out.

Pengesahan RUU Pemilu dengan ketentuan presidential threshold di dalamnya, membuat sejumlah kelompok masyarakat sipil bersiap melayangkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Salah satunya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyayangkan presidential threshold 20-25 persen tetap dipaksakan.

Menurut dia, ketentuan penggunaan presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 karena akan mengakibatkan ketidakadilan perlakuan bagi partai politik baru peserta Pemilu 2019 yang belum memiliki kursi/suara dari pemilu sebelumnya.

Partai-partai politik tersebut tidak bisa mengusung capres tanpa bergabung dengan parpol lain yang sudah jadi peserta pemilu sebelumnya.

Disepakatinya opsi paket A, menurut Titi, juga berpotensi mengganggu kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan tahapan Pemilu 2019.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra juga berencana mengajukan uji materi ke MK. Menurut Yusril, ketentuan presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Pasal 6A ayat (2) itu berbunyi, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Sementara, Pasal 22E ayat (3) mengatur bahwa pemilihan umum yang diikuti parpol, yakni memilih anggota DPR dan DPRD.

“Saya akan melawan UU Pemilu yang baru disahkan ke MK,” kata Yusril, melalui keterangan tertulisnya.

Ketua DPR Setya Novanto menanggapi keluarnya Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dalam pengambilan keputusan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilu yang digelar pada Kamis, 20 Juli 2017.

Ia menjelaskan telah menjalankan tugasnya secara maksimal dalam memimpin jalannya sidang paripurna, termasuk meyakinkan anggota DPR fraksi PAN.

Sama seperti fraksi lainnya, menurutnya, ia telah memberikan kesempatan pada fraksi PAN untuk menyampaikan laporan terkait RUU Pemilu.

“Ya kita sudah maksimal waktu saya memimpin, sudah memberikan hal-hal terbaik, terkait apa yang menjadi keinginan pada tujuan masing-masing, termasuk Fraksi PAN,” ujar Setnov, saat ditemui di Kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neli Murni, Slipi, Jakarta Barat kemarin.

Novanto menambahkan, dia telah mencoba bermusyawarah dengan PAN sebelum sidang paripurna dimulai.

“Kita juga sudah mencoba untuk bisa mengadakan musyawarah dan mufakat,” kata Setnov.

Musyawarah itu pun telah mencapai kesepakatan, sehingga Setnov menilai tidak ada masalah. Namun pada akhirnya, ia tidak menduga PAN akan keluar (walk uot) dari jalannya sidang.

“Pada saat saya pimpin, sudah terjadi mufakat tapi saya tidak tahu jika pada saat kita mengadakan paripurna, ternyata ada hal yang mungkin masih berbeda,” kata Setnov.

Sekjen PAN Eddy Soeparno mengklaim pihaknya tetap konsisten mendukung pemerintah sebagai bagian dari koalisi.

Namun, dalam hal tertentu yang menyangkut keberadaan partai seperti RUU Pemilu, ia menilai perbedaan dengan partai koalisi merupakan hal wajar.

PAN sebelumnya tidak sejalan dengan koalisi pemerintah saat pengambilan keputusan UU Pemilu.

Sekretaris Fraksi PAN, Yandri Susanto menambahkan, partainya tidak ikut dan tak akan bertanggung jawab terhadap hasil dari voting kelima isu krusial, terutama presidential threshold yang sempat menyandera pembahasan RUU Pemilu.

“Kami sampaikan pada kesempatan ini bahwa PAN dalam proses pengambilan keputusan terhadap RUU Pemilu, untuk tahapan berikutnya pengambilan keputusan tingkat dua kami nyatakan kami tidak akan ikut dan tidak bertanggung jawab atas putusan,” kata Yandri.

Partai Hanura meminta PAN untuk menentukan sikap, apakah tetap berada di koalisi partai pendukung pemerintah atau keluar dari koalisi.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura, Dadang Rusdiana menilai, sikap tersebut membuat soliditas suatu koalisi menjadi tak sehat.

“Tentunya PAN juga harus kesatria untuk memilih berada di luar atau di dalam pemerintahan,” ujar Dadang.

Tingkah laku PAN, kata dia, sudah diketahui bersama oleh publik. PAN juga kerap kali tak ikut konsolidasi antar-fraksi pendukung pemerintah.

Hanura menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan penilaian kepada PAN.

“Kami tidak membahas khusus, takut kami dianggap menganggap terlampau penting kawan yang satu ini. Presiden pun sudah tahu. Terserah Presiden saja,” tutur Sekretaris Fraksi Hanura di DPR itu.

Saat ini, PAN memiliki satu jatah menteri di kabinet, yakni Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang ditempati oleh Asman Abnur.

Selain itu, ada juga Kepala Komite Ekonomi dan Industri Nasional yang ditempati Sutrisno Bachir.

Ketua Harian DPP Partai Golkar, Nurdin Halid menilai, langkah PAN, walk out dari sidang paripurna RUU Pemilu adalah bentuk inkonsistensi sebagai partai koalisi pemerintah.

“Menurut saya itu tidak bisa kita campuri tapi itu inkonsistensi dari sebuah perjuangan,” ujar Nurdin Halid.

To Top