News

Korupsi e-KTP buktikan sistem Demokrasi sudah rusak berat

Korupsi E-KTP sungguh mengejutkan dan memalukan kita semua sebagai bangsa. Bukan saja karena tokoh-tokoh besar yang diduga terlibat dalam kasus ini begitu banyak. Tapi juga karena jumlah kerugian negara Rp 2,3 triliun itu sungguh luar biasa. Bayangkan, hampir 40 persen dari total nilai proyek diduga di korupsi.”

Demikian disampaikan oleh Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Dr Rizal Ramli di Jakarta, Jumat 7 April 2017.

Kasus E-KTP, kata Rizal, menunjukkan prosedur pengadaan proyek kenegaraan rentan disusupi kepentingan banyak orang, banyak pihak, bahkan dari berbagai partai politik yang saling berbeda garis dan kepentingan politiknya.

Dugaan korupsi E-KTP ini, kata Rizal, termasuk paling aneh untuk ukuran negara-negara yang memakai sistem demokrasi seperti Indonesia. Di banyak negara, partai-partai yang melakukan korupsi biasanya adalah partai berkuasa atau pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena merekalah yang memerintah, punya akses terhadap proyek dari tahap perencanaan, penganggaran, hingga eksekusi.

“Di kita, terutama dalam kasus E-KTP ini, politisi dari partai yang tidak pro pemerintah atau oposisi, juga ikut diduga terlibat kasus ini. Ini memang agak aneh,” kata Rizal Ramli, yang pernah menjadi Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Pada kasus ini, Rizal menyebut sepertinya semua tangan masuk ke kaleng kue yang sama. Ramai-ramai dan kita nyaris tidak tahu bagaimana membenahinya. Karena begitu banyak yang diduga terlibat, melibatkan infrastuktur politik, tokoh partai dan pejabat pemerintah.

“Kalau ini namanya udah system failure. Sistemnya sudah rusak berat,” kata Rizal.

Kasus E-KTP ini, harus menjadi momentum bagi semua orang dan terutama bagi pemerintahan Jokowi yang dikenal pekerja keras dan bersih dari masalah seperti ini.

Kalau sistem sudah failure, lanjut Rizal, kita perlu melakukan total crackdown. “A game changer harus dilakukan untuk mengubah karakter elit yang korup.”

Lewat kasus ini, Presiden Jokowi bisa mengambil langkah-langkah bersejarah demi perbaikan demokrasi dan terutama sistem kepartaian kita.

Setidaknya, kata Rizal, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, kasus ini harus dijadikan momentum oleh pemerintahan Jokowi membenahi sistem internal kepemerintahan. Terutama pengadaan dan perencanaan proyek di pemerintahan. Supaya aneka kepentingan bisa diminimalisir.

“Tutup celah dan awasi proyek raksasa seperti ini semenjak dari perencanaan, tender, penentuan pemenang hingga eksekusi,” kata Rizal.

Kedua, kasus ini juga, harus menjadi momentum untuk membenahi sistem kepartaian kita, karena ada dugaan politisi sejumlah partai politik terlibat. Dan jumlahnya banyak sekali. Ini seperti membuktikan partai mencari duit sendiri untuk operasional partai.

“Beberapa tahun lalu, kami mengusulkan agar pendanaan partai disumbang oleh pemerintah, dengan jumlah tertentu. Ini salah satu cara agar para petinggi partai kita tidak sibuk cari duit dengan segala cara untuk partainya,” kata Rizal.

Ketiga, pemerintahan Jokowi, harus menjadikan korupsi E-KTP, yang dalam sejumlah pemberitaan disebut sebagai kasus dengan kerugian negara paling besar, sebagai momentum untuk mengubah hawa politik nasional.

“Hawa politik kita belakangan ini cenderung panas, agak SARA, dan itu sebetulnya bikin kita tidak tenang dan berpotensi mengganggu iklim ekonomi. Pemerintah, lanjutnya, bisa mengubah hawa ini menjadi perang terhadap korupsi, tangkap para pelaku, lalu benahi sistem.”

“Dengan begitu, kita punya agenda yang sama, rakyat akan bersatu padu dibelakang presiden, dan hawa politik kita akan banyak berubah,” tegas Rizal Ramli.

To Top