Jakarta, Liputan7up.com – Kepolisian Daerah Jawa Timur menyatakan korban sementara serangan bom tiga gereja di Surabaya, pada Minggu (13/5) pagi bertambah menjadi 10 orang, dan 41 korban luka-luka.
Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera menjelaskan satu orang korban bom yang dirawat di RS Bedah Surabaya meninggal dunia.
“Korban meninggal bertambah satu di RS Bedah menjadi 10 korban. Ada delapan korban yang belum diidentifikasi karena masih olah TKP dan identifikasi,” kata Minggu (13/5).
Untuk identifikasi nama korban, umur dan jenis kelamin baik yang di tempat kejadian perkara (TKP) maupun RS, Barung belum bisa menyampaikannya sampai kedatangan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Mapolda Jatim.
“Pengamanan ketat di seluruh gereja. Tidak ada penundaan pada waktu ibadah,” ujarnya.
Barung menjelaskan, bom meledak di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel pada pukul 06.30. Bom meledak di Gereja kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro pukul 07.15, dan di Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno pada pukul 07.53.
Berdasarkan laporan Liputan7up.com TV, bom di GKI Jalan Diponegoro diledakkan oleh seorang perempuan yang membawa dua anak. Sebuah bom diketahui melilit di paha salah satu korban anak yang meninggal dunia tersebut.
ICJR Desak Pemerintah Utamakan Korban
Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mendesak pemerintah pusat dan daerah serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk segera menangani korban ledakan bom tiga gereja di Surabaya.
Anggara mengimbau instansi yang berwenang untuk segera mengidentifikasi korban demi mengedepankan hak-hak mereka sebagai korban terorisme, yakni berupa pertolongan pertama bantuan medis langsung yang harus ditanggung oleh pemerintah
“Kompensasi harus bisa diberikan secara langsung terhadap korban terorisme, tanpa harus menunggu proses peradilan yang mayoritas pelakunya meninggal dunia pada saat melakukan aksi teror,” kata Anggara melalui keterangan resminya, Minggu (13/5).
Ketentuan itu telah tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) UU No 31 tahun 2014 tentang perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut Anggara, masih ada permasalahan dalam pemenuhan hak korban. Salah satunya adalah masalah pemberian kompensasi.
Saat ini, pengaturan mengenai hak korban terorisme mendapatkan kompensasi diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 31 tahun 2014 jo Pasal 38 ayat (1) Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantas Tindak Pidana terorisme sebagaimana yang sudah ditetapkan berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2003.
Oleh sebab itu, Anggara menyebut ICJR kembali mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk lebih memfokuskan upaya revisi tersebut kepada penguatan hak korban terorisme.
Salah satunya mengenai jaminan korban mendapat kompensasi tanpa melalui putusan pengadilan.
Anggara pun meminta agar pemerintah segera memberikan bantuan medis dan psikososial langsung kepada korban ledakan bom di Surabaya, terutama melalui LPSK dengan jaminan ditanggung oleh negara, serta menjamin korban mendapat kompensasi dari negara.
“Pemerintah dan DPR menjamin proses revisi UU Terorisme juga merombak ulang tentang hak korban atas kompensasi, bahwa korban berhak mendapatkan kompensasi tanpa melalui putusan pengadilan,” kata Anggara.