News

Kasus Korupsi e-KTP vs Revisi UU KPK

Sengkarut soal proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) sedikit demi sedikit mulai terkuak ke publik. Kasus yang “meledak” sejak tahun 2011, itu baru menyeret dua tersangka ke meja hijau, yakni eks Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sugiharto (ditetapkan jadi tersangka oleh KPK pada 22 April 2014) dan eks Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman (jadi tersangka pada 30 September 2016).

Belakangan kembali heboh, setelah kasus ini mulai disidangkan Kamis (9/3) lalu. Heboh, karena sejumlah nama yang kini menduduki jabatan penting, diduga tersangkut kasus e-KTP dan ikut menikmati dana.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lewat juru bicara Febri Diansyah menyebut ada tiga klaster atau kelompok besar terkait pengusutan kasus e-KTP, salah satu kelompok itu adalah dari anggota DPR. Di proses penyidikan ada lebih dari 20 anggota DPR yang dipanggil. Kini, di antara mereka ada yang jadi Menteri dan Gubernur.

Namun, belum juga nama-nama itu disebutkan, buru-buru sejumlah nama yang merasa dirinya dikait-kaitkan terhadap kasus e-KTP ramai-ramai membantahnya. Termasuk, Ketua DPR RI Setya Novanto. Di antara mereka bahkan ada yang tidak terima disebut hingga melaporkan ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik.

Apakah bantahan mereka sahih, kita tunggu saja janji KPK yang akan membuka terang benderang kasus tersebut. Sejauh ini, KPK menyebut ada pengembalian uang senilai Rp 250 miliar dari berbagai pihak, yaitu 5 korporasi, 1 konsorsium, dan 14 orang. Di antara 14 orang tersebut, disebut ada pula anggota DPR yang sebelumnya pernah diperiksa KPK dalam kapasitas sebagai saksi.

Megaproyek e-KTP mulanya direncanakan senilai Rp 6,9 triliun. Kemendagri menyiapkan anggaran sebesar Rp 6 triliun pada 2010 untuk proyek yang direncanakan rampung pada 2012 ini. Namun alih-alih selesai, dananya justru diduga untuk “bancaan” dan KPK mengumumkan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.

Memang tidak mudah bagi KPK untuk mengurai kasus tersebut, apalagi bila sudah menyangkut personel dewan, urusannya bisambulet kemana-mana. Bahkan, saat ini, diduga ada upaya untuk menggembosi KPK lewat pengguliran kembali revisi undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Di era Jokowi ini, setidaknya sudah tiga kali wacana revisi UU KPK mencuat. Tarik ulur revisi UU KPK pertama kali terjadi pada Oktober 2015 lalu. Tetapi pembahasan ditunda lantaran pemerintah fokus untuk membenahi sektor ekonomi. Satu bulan kemudian, revisi UU KPK diubah menjadi inisiatif DPR dan dimasukkan program legislasi nasional (Prolegnas). Setelah sempat menuai polemik, Presiden dan Ketua DPR saat itu, Ade Komaruddin, kembali memutuskan untuk menunda pembahasan revisi.

Namun, revisi UU KPK tidak dihapus dalam Prolegnas. Kini, wacana revisi UU KPK kembali mencuat menyusul pengusutan kasus e-KTP. Berbagai tanggapan pun muncul. Banyak yang beranggapan bahwa usulan revisi UU KPK, merupakan cara DPR untuk membendung kasus e-KTP. Mana, yang betul, waktu yang akan menjawabnya. Akankah kali ini dewan berhasil merevisi UU KPK? Wallahu A’lam.

To Top