Bisnis

Jalan Panjang Redenominasi Mata Uang Rupiah, Dari Rp 1.000 Jadi Rp 1

Indonesia butuh redenominasi mata uang. Angka 0 (nol) sudah terlalu banyak berjejer di halaman depan dan belakang halaman rupiah, sehingga perlu disederhanakan atau disebut dengan redenominasi.

Ide redenominasi sudah muncul sejak tujuh tahun lalu (Mei 2010), dari mulut Darmin Nasution yang menjabat Pjs Gubernur Bank Indonesia (BI). Alasan Darmin, bahwa Rp 100.000 adalah pecahan terbesar kedua di dunia, di bawah Vietnam sesuai dengan riset Bank Dunia.

Ide itu disambut positif oleh berbagai kalangan, dari pemerintah, pengamat ekonomi, akademisi hingga kelompok masyarakat lainnya. Tak sedikit juga yang mengingatkan, seperti dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari 2011 bahwa implementasi redenominasi harus memperhatikan kondisi inflasi.

Sambutan yang positif ternyata tak cukup. Agar redenominasi bisa terjadi, perlu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Agustus 2010 DPR menolak mentah-mentah ide tersebut dengan tuduhan redenominasi bisa menimbulkan gejolak perekonomian.

Hal itu tidak menyurutkan niatan BI. Rancangan UU tetap disusun, sembari berkoordinasi dengan pemerintah sebagai pihak yang nantinya akan mengajukan UU kepada DPR. Pada sisi lain, sosialisasi juga terus dilakukan, meski terbatas pada kalangan dunia usaha, pengamat ekonomi dan akademisi.

Sampai kemudian pada Desember 2012, redenominasi dinyatakan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Sosialiasi pun makin gencar dilakukan, mulai dari Januari 2013. Berbagai penampakan ilustrasi dari rupiah setelah redenominasi pun disebar oleh BI. Pecahan Rp 100.000, Rp 50.000 dan Rp 20.000 dijadikan ilusrtrasi. Targetnya pada 2016, redenominasi sudah dimulai.

Namun sayangnya, pembahasan RUU di DPR tak kunjung dimulai. Baru Juli 2013, pemerintah menyampaikan naskah akademik kepada DPR, panitia khusus (Pansus) DPR pun dibentuk. DPR juga kunjungi beberapa kota untuk mendengar aspirasi masyarakat secara langsung.

Periode 2013 selesai, RUU belum juga selesai dibahas. Gubernur BI Agus Martowardojo menyampaikan bahwa pembahasan ditunda karena pertimbangan kestabilan ekonomi dan politik. Diketahui saaat itu memang Indonesia akan memasuki Pemilu Presiden, dan dari sisi ekonomi ada gejolak pasar keuangan dari eksternal.

Berganti ke pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) redenominasi juga belum ada kejelasan. Tiba-tiba pada September 2014, Pimpinan DPR Sohibul Iman mengungkit redenominasi saat sidang paripurna pengesahan UU APBN 2015. Nilai belanja APBN Rp 2.039,5 triliun terlalu besar, sehingga nolnya perlu dikurangi.

Pada Desember 2015, Darmin Nasution yang sudah diangkat menjadi Menko Perekonomian membongkar cerita gagalnya pembahasan redenominasi dengan para anggota dewan.

“Secara politik ada semacam kayak kecurigaan. Wacana yang kemudian diputar-putar logikanya jadi kecurigaan,” kata Darmin saat itu.

Setahun berselang, isu redenominasi kembali muncul. Tepatnya saat peluncuran desain baru rupiah. Presiden Jokowi menganggap seharusnya RUU redenominasi sudah dibahas dengan DPR, karena pernah ada dalam prolegnas. Bai Jokowi sangat penting redenominasi dimulai.

Mei 2017, Gubernur BI Agus Martowardojo mengungkapkan sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai redenominasi. Bila dimulai sekarang, maka sekitar 7 tahun mendatang, rupiah sudah kehilangan tiga nol.

To Top