News

BPK Menemukan Potensi Kerugian Negara Senilai Rp 945 M di DPR yang Diduga Fiktif

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara senilai Rp 945.465.000.000 yang berasal dari kunjungan kerja perorangan anggota DPR yang diduga fiktif.

Adanya potensi kerugian negara dalam kunjungan kerja (kunker) perseorangan anggota DPR disampaikan pertama kali oleh Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Hendrawan Supratikno.

BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 945.465.000.000 dalam kunjungan kerja perseorangan yang dilakukan oleh anggota DPR RI.

Laporan ini sudah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR dan diteruskan ke 10 fraksi di DPR. Jika dihitung waktunya hingga saat ini sudah 1 tahun lebih.

Hendrawan waktu itu mengakui, sejumlah anggota DPR selama ini banyak yang kurang serius membuat laporan pertanggungjawaban kunjungan ke dapilnya.

Ada pula anggota DPR yang hanya mempercayakan kegiatan kunker ke tenaga ahli. Foto kegiatan yang sama sering digunakan berkali-kali dalam setiap laporan kunker.

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto prihatin dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menunjukkan adanya potensi kerugian negara Rp 945 miliar dalam kunjungan kerja yang dilakukan anggota DPR.

Dia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tinggal diam menanggapi temuan ini.

“Fitra mendorong KPK untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK ini dibawa ke proses hukum,” kata Yenny dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/5/2016) lalu.

Yenny melihat, temuan ini menunjukkan anggota DPR tidak berkomitmen dalam menyusun laporan kunjungan kerja sehingga menguatkan anggapan selama ini bahwa kunker hanya pelesiran semata.

Temuan ini juga menandakan adanya kelemahan internal DPR dalam transparansi dan akuntabilitas.

“Seharusnya, Sekjen DPR memaksa anggota, melalui fraksi atau komisi untuk melaporkan. Kelemahan ini juga tanggung jawab Sekjen DPR,” ujar Yenny.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengusut kasus laporan kunjungan kerja fiktif anggota DPR RI. Hal itu menyusul temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas potensi kerugian keuangan negara dalam kunjungan kerja tersebut.

“Jangan sampai kasus ini tenggelam begitu saja. Ini penyimpangan serius yang berulang kali terjadi dan seolah-olah dilindungi oleh UU,” kata penelitik Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, dalam pesan singkatnya.

Lucius mengaku tak begitu kaget dengan adanya temuan tersebut. Menurut dia, anggaran kunjungan kerja saat reses memang rawan diselewengkan lantaran mekanisme laporannya hanya berbentuk laporan kegiatan semata.

“Anggota DPR sengaja mendesain sistem penganggaran reses dengar model lumpsum. Tak peduli uang itu dipakai sesuka hati oleh anggota DPR, yang pasti setiap reses dengan bekas laporan formalitas reses sebelumnya, anggota mendapatkan jatah reses,” ujarnya.

Sebelumnya, saat itu Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis membenarkan bahwa lembaganya melakukan audit terhadap DPR RI.

Namun, Azis mengaku tidak tahu persis berapa angka potensi kerugian negara yang timbul dari hasil audit itu.

“Itu bagian dari audit lembaga DPR. Keuangan DPR juga kita audit. Tetapi, jumlahnya saya belum tahu,” kata Harry saat dihubungi Kompas.com Kamis (11/5/2016) lalu.

Harry mengatakan, audit dilakukan dalam semua aspek, termasuk dalam hal kunjungan kerja anggota DPR. Audit tersebut dilakukan untuk periode tahun anggaran 2015.

“Yang kita audit dari 1 Januari sampai 31 Desember 2015,” ucapnya.

To Top