News

Benarkah Setya Novanto, Yasonna Laoly dan Ganjar Pranowo Terima Uang Dalam Kasus Korupsi e-KTP

Dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa, Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengurusi proyek e-KTP, intens bertemu Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.

Pertemuan yang dilakoni bersama dengan terdakwa Irman yang saat itu mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri bertujuan agar Novanto memastikan Fraksi Partai Golkar mendukung anggaran proyek e-KTP itu.

“Menindaklanjuti kesepakatan itu, beberapa hari kemudian di Hotel Gran Melia Jakarta, para terdakwa bersama-sama dengan Andi Narogong dan Diah Anggraini melakukan pertemuan dengan Setya Novanto. Dalam pertemuan itu, Setya Novanto menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional,” sebut jaksa KPK.

Kemudian, Irman dan Andi Narogong kembali menemui Novanto di ruang kerjanya di lantai 12 Gedung DPR. Dalam pertemuan itu, Novanto mengaku akan mengkondisikan pimpinan fraksi lainnya.

“Atas pernyataan tersebut, Setya Novanto mengatakan bahwa ia akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya,” ujar jaksa KPK.

‘Uang jasa’

Usai melakukan beberapa kali pertemuan, mereka bersepakat DPR akan menyetujui anggaran Rp 5,9 triliun dengan ‘pengawalan’ dari Partai Golkar dan Partai Demokrat. Untuk ‘jasa’ itu, anggota dewan meminta imbalan.

“Dengan kompensasi Andi Agustinus alias Andi Narogong akan memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri,” ujar jaksa KPK.

“Guna merealisasikan pemberian fee tersebut, Andi Agustinus alias Andi Narogong membuat kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran KTP Elektronik yang kurang lebih senilai Rp 5,9 triliun,” imbuh jaksa KPK.

Secara rinci, jaksa menyebut Setya Novanto menerima 11% dari anggaran atau Rp 574.200.000.000. Adapun Yasonna Laoly disebut menerima US$ 84 ribu, sedangkan Ganjar Pranowo US$520 ribu.

Rincian anggaran e-KTP , sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa

  1. Sebesar 51% atau Rp2.662.000.000.000 dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek
  2. Sebesar 49% atau Rp2.558.000.000.000 dibagi-bagikan kepada:
  • Beberapa pejabat Kemendagri termasuk dua terdakwa sebesar 7% atau Rp365.400.000.000
  • Anggota Komisi II DPR sebesar 5% atau Rp261.000.000.000
  • Setya Novanto dan Andi Narogong sebesar 11% atau Rp574.200.000.000
  • Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin sebesar 11% atau Rp574.200.000.000
  • Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15% atau Rp783.000.000.000

Kedua terdakwa, yaitu Irman dan Sugiharto, disebut memperkaya orang lain atau korporasi. Ada banyak pihak yang disebut mulai dari Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), DPR, hingga pihak swasta.

“Yaitu memperkaya para terdakwa dan memperkaya orang lain yakni Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Dradjat Wisnu Setyawan beserta 6 orang anggota panitia pengadaan, Husni Fahmi beserta 5 orang anggota tim teknis, Johannes Marliem, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Lindrung, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna Laoly, dan 37 anggota Komisi II DPR,” ujar jaksa KPK.

Jaksa KPK juga menyebutkan uang pengadaan e-KTP mengalir ke korporasi.

“Serta memperkaya korporasi yakni Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI), PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo, manajemen bersama Konsorsium PNRI,” imbuh jaksa KPK.

Berbagai tahapan

KPK menyebut dugaan korupsi e-KTP terjadi melalui beberapa tahapan. Febri Diyansyah mengatakan pihaknya menemukan indikasi adanya pertemuan-pertemuan informal sebelum rapat pembahasan anggaran dilakukan.

Kemudian, setelah adanya hasil dalam tahap awal yang hanya melibatkan beberapa orang, proyek e-KTP dibawa dalam pembahasan anggaran di DPR.

“Yang kedua tentu tahap pembahasan anggaran yang melibatkan sejumlah anggota DPR dan juga unsur pemerintah di sana. Nah pada dua tahap awal ini kita menemukan indikasi yang disebut dengan praktik ijon dalam tanda kutip,” kata Febri.

Selain pada tahap pembicaraan informal dan pembahasan anggaran, dugaan korupsi juga terindikasi pada tahap pengadaan.

Ramai oleh wartawan

Suasana di gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah ramai sejak pagi. Sebagian besar khalayak yang berkumpul adalah wartawan yang meliput persidangan.

Meski demikian, pihak pengadilan melarang peliputan disiarkan secara langsung oleh televisi, meski menegaskan bahwa sidang terbuka untuk umum.

“Para pengamat yang berkompeten boleh menghadiri… Mau dari KY, mau dari ICW, mau dari manapun silakan hadir,” kata Humas PN Jakarta Pusat, Yohannes Priyana.

Yohannes menambahkan, komposisi hakim yang memimpin sidang pembacaan dakwaan hari ini yakni John Halaan Butarbutar, Franky Tambun, Emilia Jaya Subagya, Anwar, dan Ansori. Sedangkan tim Jaksa Penuntut Umum diketuai Irene.

Adapun terdakwa ialah Irman selaku mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil serta Sugiharto, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri.

Mereka dijerat pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur perbuatan memperkaya diri sendiri yang merugikan negara. Dengan ini, mereka diancam pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan denda paling paling banyak Rp1 miliar.

Susilo Ariwibowo, selaku pengacara terdakwa Irman, mengatakan kliennya tidak ada beban.

“Dia siap mengungkap apapun yang dia ketahui, dia dengarkan, dia alami. Sepanjang ini tidak ada, tidak ada beban. Kalau ada kita buka,” ujar Susilo, ketika ditanya apakah ada tekanan dari anggota DPR.

KPK mulai menelusuri dugaan korupsi pada 22 April 2014 dan telah memanggil 280 saksi. Sebanyak 23 di antara mereka merupakan anggota DPR masa jabatan 2009-2014, termasuk Ade Komarudin, mantan anggota Komisi XI DPR dan sekretaris Fraksi Partai Golkar.

To Top