Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai ada dua kebijakan masa lalu yang keliru sehingga membuat ekonomi Indonesia sulit mengejar ketertinggalan dengan negara Asia lainnya.
Dua kebijakan tersebut dinilai merugikan negara hingga setara Rp6.000 triliun. Kedua kebijakan tersebut adalah yang diambil dalam menghadapi persoalan krisis moneter di Indonesia pada 1997-1998 dan kebijakan pemerintah tahun 2013-2014 soal alokasi subsidi.
Hal tersebut dikatakannya saat membuka Simposium Nasional Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan UUD 1945. “Dalam 10-15 tahun terakhir, kenapa kita tertinggal dengan Malaysia, Thailand atau kenapa tidak maju. Ada dua hal pokok saja sehingga kita tidak semaju yang lain,” katanya, di Gedung DPR, Rabu (12/7/2017).
Saat krisis moneter, Wapres menjelaskan bahwa saat itu Indonesia tengah mengenal paham liberalisme yang sangat terbuka untuk perekonomian dan dijamin oleh negara.
“Jadi kita ini terlalu mudah mengikuti paham. Paham liberalisme. Semua deregulasi, bank terbuka, semua orang bisa bikin bank dengan modal minimal Rp 2,5 miliar saja, [lalu] berdirilah 250 bank. Bank bangga, pemerintah bangga pada waktu itu,” jelasnya.
Namun, paham liberalisme kala itu tidak berjalan baik. Kompetisi bank sangat ketat dengan berlomba-lomba memberikan bunga yang tinggi, namun hal itu sekaligus menimbulkan tingginya nilai kredit macet.
“Lalu salahnya adalah pemerintah menjamin semua [kerugian bank]. Yang keliru itu, sehingga terjadilah blanket guarantee dan BLBI [Bantuan Likuiditas Bank Indonesia], hingga Rp600 triliun. Kalau diukur dengan bunganya dan nilai saat ini itu, nilainya setara bisa sampai Rp3.000 triliun,” jelasnya.
Kesalahan kedua adalah alokasi subsidi pada 2013-2014 yang pada awalnya ditujukan untuk membantu masyarakat kecil. Nilai subsidi saat itu hampir mencapai Rp400 triliun atau sekitar 25% dari jumlah anggaran saat itu.
Jika ditotal, Wapres memperkirakan dua kebijakan tersebut merugikan negara hingga mencapai Rp6.000 triliun. “Dua kebijakan saja yang keliru menghabiskan ongkos bisa sampai Rp6000 triliun. Itu tidak jatuh ke rakyat tapi ke orang yang punya uang, sehingga terjadilah gini ratio yang tinggi,” ujarnya.
Padahal, Wapres mengatakan bila setengah dana tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, Indonesia dapat lebih maju dari Thailand dan Malaysia saat ini. Saat ini, Wapres mengatakan semua pihak harus bersama-sama kembali ke tujuan awal yakni untuk adil dan makmur masyarakatnya serta mengurangi ketimpangan.
“Kita harus meluruskan itu, saya setuju agar kembali lagi ke tujuan awal dengan langkah-langkah ekonomi terpadu, khususnya keadilan sosial. Kalau tidak, akan timbul kesenjangan yang lebih besar,” jelasnya.